Yuk Mengenal Sosok Keumalahayati Sang Laksamana Perang dari Aceh !!

Sejarah menunjukkan bahwa sejak dulu perempuan telah memberikan sumbangsih yang besar terhadap peradaban dunia. Peran perempuan juga tidak terlepas mempengaruhi berbagai kemenangan atas perang-perang yang dilancarkan oleh kerajaan yang jaya pada zamannya.

Keumalahayati, sosok yang juga memiliki peran penting dalam kejayaan kerajaan Aceh pada waktu itu. Menurut catatan Marie Van Zuchtelen dalam bukunya, Vrouwlijke Admiral Malahayati, Laksamana Malahayati dikisahkan sebagai seorang laksamana yang cerdik, bijaksana dan berani dalam memimpin pasukan wanitanya.













Siapa sih Keumalahayati? 

Keumalahayati, adalah salah seorang perempuan pejuang yang berasal dari Kesultanan Aceh. Ayahnya bernama Laksamana Mahmud Syah. Kakeknya dari garis ayahnya adalah Laksamana Muhammad Said Syah, putra dari Sultan Salahuddin Syah yang memerintah sekitar tahun 1530–1539 M. Adapun Sultan Salahuddin Syah adalah putra dari Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513–1530 M), yang merupakan pendiri Kerajaan Aceh Darussalam.[1] 

Latar belakang tersebut menyebabkan Laksamana Malahayati tidak asing lagi dengan dunia angkatan laut.

Malahayati hidup di masa Kesultanan Aceh yang dipimpin oleh Sultan Alaiddin Ali Riayat Syah IV yang memerintah antara 1589-1604 M. Pada awalnya ia dipercaya sebagai kepala pengawal dan protokol di dalam dan luar istana, berpasangan dengan Cut Limpah yang bertugas sebagai petugas Dinas Rahasia dan Intelijen Negara.

Setelah menyelesaikan pendidikannya di Meunasah, ia meneruskan pendidikannya ke Akademi Militer Kerajaan, Ma’had Baitul Maqdis, akademi militer yang dibangun dengan dukungan Sultan Selim II dari Turki Utsmaniyah. Di situlah ia bertemu dengan seorang laksamana (hingga kini belum diketahui identitasnya) yang kemudian menjadi suaminya. Lulus dari akademi, Malahayati diangkat menjadi Komandan Protokol Perang.

Keumalahayati, wanita tangguh asal Aceh lahir tahun 1585. Namanya memiliki arti istimewa: batu indah dan bercahaya. 

Laksamana wanita pertama di dunia pelayaran modern

Jika nama Artemisia I dari Caria tidak dihitung, maka Malahayati adalah laksamana wanita pertama yang diketahui dunia modern.

Sang terpilih dari raja dan disegani kaum adam

Walaupun seorang wanita yang hidup di zaman kuno di mana para lelaki mendominasi, Malahayati mampu mendapatkan penghormatan yang layak dari para pria. Dia bahkan ditunjuk secara langsung oleh Sultan Alauddin Mansur Syah untuk menjadi laksamana pertamanya. Saat itu Aceh sedang ketat-ketatnya menjaga perairan Selat Malaka agar tak bernasib sama seperti tetangganya yang jatuh ke tangan Portugis. Konon para jenderal dan pasukan pun menaruh hormat kepada perempuan ini.


Pasukannya para janda yang tangguh di lautan

Keumalahayati tak bisa menyembunyikan kegeramannya begitu tahu suaminya meninggal di tangan armada laut Portugis dalam perang “Teluk Haru”. Kepada Sultan Saidil Mukammil Alaudi Riayat Syah, Sultan Aceh kala itu, lekas-lekas ia meminta dibentuk pasukan armada laut khusus yang prajuritnya terdiri dari janda perang. Permintaan Keumalahayati dipenuhi Sultan. Ia dipercaya memegang jabatan Kepala Barisan Pengawal Istana Panglima Rahasia dan Panglima Protokol pemerintah. Armada pimpinan Keumalahayati dinamakan Armada Inong Balee (armada wanita janda).

Malahayati adalah panglima dari Inong Balee, armada pelayaran beranggota para janda pejuang Aceh yang gugur di pertempuran Selat Malaka. Meskipun prajuritnya para janda, armada pimpinan Malahayati sangat tangkas di bidang militer. Mereka menyusun sistem pertahanan yang kuat di daratan maupun lautan. Mereka memiliki benteng di Teluk Lamreh Kraung Raya dan 100 kapal.
Ketangguhan Malahayati dan pasukannya membuat armada Portugis bisa dipukul mundur di abad 16. 

Suatu hari pada  Juni 1599, Cornelis de Houtman dan Frederijk de Houtman memasuki pelabuhan Aceh. Mulanya kedatangan duo Belanda itu disambut baik oleh Sultan Aceh. Namun seiring waktu keduanya banyak membuat ulah. Mereka memanipulasi perdagangan, mengacau, dan menghasut rakyat melawan kerajaan. Sultan yang habis kesabaran memerintahkan Keumalahayati mengenyahkan para pengacau Belanda itu dari bumi Serambi Makkah.

Pertempuran sengit tak terelakan. Keumalahayati dan pasukan Inong Baleenya merangsek masuk ke atas geladak kapal de Houtman. Mereka lawan serdadu-serdadu de Houtman tanpa mengenal ragu dan takut. Hingga akhirnya Cornelis de Houtman meregang nyawa oleh tikaman rencong Keumalahayati. “Di kapal Van Leeuw telah dibunuh Cornelis Houtman oleh Hayati sendiri,sedang Frederick de Houtman ditawan,” tulis Marie van C. Zeggelen dalam Oude Glorie.

Bikin Belanda tekuk lutut

Setelah armada pimpinan Cornelis de Houtman berhasil dikalahkan oleh Malahayati, giliran pasukan Paulus van Caerden yang mencoba menerobos perairan Aceh pada tahun 1600. Mereka menjarah dan menenggalamkan kapal bermuatan rempah, membuat raja Aceh naik pitam.

Tantangan ini dijawab Malahayati dengan memerintahkan penangkapan Laksamana Belanda, Jacob van Neck pada tahun 1601. Perlawanan sengit dari armada Malahayati dan ancaman Spanyol membuat Belanda menyerah. Penguasa negeri kincir, Maurits van Oranje mengirim utusan diplomatik beserta surat permintaan maaf kepada Kerajaan Aceh. Kedua utusan tersebut ditemui oleh Malahayati sendiri dan berbuah kesepakatan gencatan senjata. Belanda setuju membayar 50 ribu gulden sebagai kompensasi atas tindakan Paulus van Caerden, sementara Malahayati membebaskan sejumlah tahanan Belanda yang ditawan pasukannya.

Bikin inggris gentar bahkan sebelum bertempur

Reputasi  Laksamana Malahayati yang tak kenal ampun membuat Inggris yang hendak melalui Kerajaan Aceh jadi ciut. Daripada mengirim pasukan dan kalah telak, akhirnya mereka memilih memasuki Aceh dengan jalan damai.

Ratu Elizabeth, penguasa Inggris kala itu memilih untuk mengutus James Lancaster disertai surat permintaan izin kepada Sultan Aceh untuk membuka jalur pelayaran menuju Jawa. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 1602.

Gugur sebagai prajurit

Malahayati meneruskan perjuangannya untuk melindungi perairan Aceh hingga akhir hayat. Dia gugur dalam pertempuran melawan armada Portugis yang kali ini dipimpin oleh Alfonso de Castro. Jasadnya dimakamkan di Gampong Lamreh, Krueng Raya, Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar.

Malahayati disebut masih memimpin pasukan Aceh menghadapi armada Portugis di bawah yang menyerbu Kreung Raya Aceh pada Juni 1606. Sejumlah sumber sejarah menyebut Malahayati gugur dalam pertempuran melawan Portugis itu. Dia kemudian dimakamkan di lereng Bukit Kota Dalam, sebuah desa nelayan yang berjarak 34 kilometer dari Banda Aceh.


Namanya terdengar hingga ke China dan tanah barat

Kehebatan Malahayati di lautan membuat namanya dikenal di negara-negara lain. Selain Belanda, Portugis, dan Inggris yang ketakutan dibuatnya, nama Malahayati juga terdengar sampai ke negeri Tiongkok. Sejumlah sejarawan menjajarkan namanya dengan Katerina Agung dari Rusia

Referensi 
- buku oude guilre














Komentar